Bandung, 29 Maret 2015
Maret
akan segera berlalu dan April telah menjelang. Kemudian? Mei akan datang.
Bagaimana
perasaanmu? Adakah yang berbeda? Apakah keseharianmu berubah?
Kau
bertanya tentang hariku, kak?
Masih
sama. Aku masih berkutat dengan laptop. Masih berjuang menuntaskan apa yang
sudah kumulai. Berjuang mendapatkan ijazah yang deadline-nya sudah di depan mata.
Hariku
masih serupa yang dulu. Masih ditemani bacaan sebelum tidur. Masih mengisi pagi
dengan membaca timeline dan dilanjutkan membaca bahan tulisan. Setiap waktu
luangku pun masih diisi oleh lembaran berisi kata-kata yang ditulis seseorang.
Tapi
ada sedikit yang berbeda.
Saat membaca tentang pernikahan aku menjadi jauh
lebih tertarik. Aku jadi ingin tahu tentang kriteria “bahagia” bagi sebuah
rumah tangga. Aku menjadi penasaran tentang “pria dan komitmen”. Aku pun jadi
mudah terenyuh oleh kisah tentang seorang pria yang mencintai dengan tulus dan
mendampingi tanpa jenuh. Kisah tentang laki-laki pejuang yang lemah lembut. Dan
aku pun jadi sangat tertarik membaca artikel tentang istri ideal.
Ya,
ada yang sedikit berubah. Jika melihat sesuatu aku mulai berpikir tentang, “Ah,
dia mungkin akan menyukainya.” Atau saat aku membaca tulisan tentang suatu tempat
aku akan berpikir bahwa suatu hari aku kelak akan mengunjunginya bersamamu. Dan
lebih konyol lagi, aku berpikir tentang tanggapanmu pada kebiasaanku yang harus
membaca sebuah buku sebelum tidur.
Dan
kini aku semakin merasa bahwa ada yang berubah. Aku tengah memikirkan rencana
masa depanku. Tentang impianku menjadi penulis. Dan kini aku bertanya-tanya.
Bagaimana kamu akan memposisikan diri atas mimpi ini? Di mana aku harus
menempatkanmu dalam pengejaran mimpiku ini?
Banyak
yang meragu. Berpikir bahwa menikah akan mengekangku dari pengejaran atas
mimpi-mimpiku. Ada yang bahkan berkata bahwa kelak setelah menikah aku tidak
akan punya waktu menyelesaikan semua rencanaku. Menyelesaikan semua buku-buku
yang ingin kutulis. Sebab aku akan terlalu sibuk menurutimu. Menuruti
aturan-aturanmu atas posisiku sebagai seorang istri.
Sumber foto di sini |
Ah,
mereka tidak mengenalmu. Mereka hanya menilaiku. Tanpa mau melihat keteguhan,
keterbukaan dan perlindungan yang kau tawarkan untukku.
Kau
adalah laki-laki yang ketika mengetahui aku sakit karena kelelehan tidak
berkata, “Tuh kan. Kamu terlalu sibuk sih. Makanya sakit.”
Kamu
adalah orang yang akan dengan segera berkata, “Istirahat dulu. Minum obat. Biar
besok bisa tetap melanjutkan kesibukanmu.”
Lihatlah,
lelaki itukah yang akan mengekangku? Laki-laki yang mengingatkan bahwa
kesehatanku penting demi keberlangsungan semua aktivitas. Bukannya berpikir
bahwa kesibukanku merusak kesehatanku.
Jadi,
bolehkah aku memupuk lagi tambahan kepercayaan bahwa kelak kamu akan menjadi
pendukung terkuatku?
Ketika menikah, .... beebra wanita muda akan bingung dengan apa yang akan dilakukannya. Mereka tidak tahu apa yg akan dilakukannya lg selain masak, menunggu suami pulang dan kelak mengasuh anak. Setiap kali hatinya merajuk ingin menggapai cita-cita masa lajangnya yg masih menggantung dlm lembar ijazah, suaminya akan berkata: lah, nanti siapa yg ngurusin aku?
BalasHapusBeberapa wanita lainnya, terbiasa mendengar suaminya berkta: Buat apa kuliah tinggi2, kalau cuma di dapur saja.
Dan ada juga para suami yg berkata: Kejarlah cita-citamu setinggi-tingginya, tapi jangan kau lupàkan hakku dan anak2 kita yg menunggumu bercerita sebelum tidur.
Iya, ini salah satu kebimbangan yang mendera perempuan saat harus memutuskan untuk menikah. Adakah pasangannya mampu mendukungnya atau "memenjara"kannya.
HapusMakasih sudah mampir Sharot (^_^)