Tik.. Tok.. Tik.. Tok..
Rinduku berdetak seiring gerak jarum detik
Senyap..
Gelap..
Memeluk erat..membuatku sesak..
Tidak mampu bernapas..
Aku enggan menghitung hari..
Tak ingin memetakan jarak..
Sebab telah ada beribu puisi yang berkisah tentang Jawa dan Mandar..
Berkisah tentang kilometer yang membentang..
Tentang meninggalkan atau ditinggalkan..
Tentang menunggu..
Teknologi tidak benar - benar menghadirkanmu
Sms tidak membuatku mampu mendengar suaramu.
Telepon darimu tidak mampu benar - benar menghadirkanmu.
Skype tidak bisa membuatku merasakan sentuhanmu.
Tik.. Tok.. Tik.. Tok..
Aku enggan merasakan ketiadaanmu.
Biarkan aku belajar merasa cukup dengan adamu.
Ah, sudah waktunya kita bertemu via gelombong.
Meski tak membasuh rindu, paling tidak ia membuatnya tak menggebu
Bekasi, 21 Juni 2015
Jangan buang waktu dengan membaca ceceran kata di sini. Tidak akan memberi pengaruh apapun pada duniamu. Ini hanya jejak yang berusaha ditinggalkan oleh sepasang manusia yang memutuskan untuk menantang dunia bersama. Memilih untuk saling berdampingan dan saling mendukung.
Minggu, 21 Juni 2015
Ketika Jarak Datang dan Menetap
Lupakan dulu kisah saat mempersiapkan masa pernikahan.
Lupakan juga curhatan tentang pengalaman pertama menjadi seorang istri.
Hari ini biarkanku bercerita tentang jarak.
Hal yang dulu kami akrabi dan kembali menengahi.
Jarak memang tidak selalu menjadi kawan, namun tidak melulu menjadi musuh.
Lupakan juga curhatan tentang pengalaman pertama menjadi seorang istri.
Hari ini biarkanku bercerita tentang jarak.
Hal yang dulu kami akrabi dan kembali menengahi.
Jarak memang tidak selalu menjadi kawan, namun tidak melulu menjadi musuh.
Sabtu, 04 April 2015
Dan Aku Kembali Berkisah Tentang Kita
Bandung, 29 Maret 2015
Maret
akan segera berlalu dan April telah menjelang. Kemudian? Mei akan datang.
Bagaimana
perasaanmu? Adakah yang berbeda? Apakah keseharianmu berubah?
Kau
bertanya tentang hariku, kak?
Masih
sama. Aku masih berkutat dengan laptop. Masih berjuang menuntaskan apa yang
sudah kumulai. Berjuang mendapatkan ijazah yang deadline-nya sudah di depan mata.
Hariku
masih serupa yang dulu. Masih ditemani bacaan sebelum tidur. Masih mengisi pagi
dengan membaca timeline dan dilanjutkan membaca bahan tulisan. Setiap waktu
luangku pun masih diisi oleh lembaran berisi kata-kata yang ditulis seseorang.
Tapi
ada sedikit yang berbeda.
Sabtu, 07 Maret 2015
Keputusan Datang dan Disusul oleh Keraguan
Membuat keputusan untuk menikah bukan hal yang mudah. Terlebih
menjalaninya.
Keraguan yang datang satu persatu pun tidak membantu sama sekali.
Bayangkan, sebelum memutuskan menikah, aku seolah tidak memiliki
kesempatan untuk menikah. Mimpiku untuk menjadi penulis rasanya masih sangat
jauh. Namun ternyata, setelah aku memutuskan untuk menerima lamaran dari
laki-laki yang baru kukenali, tawaran menjadi dosen datang. Satu persatu
pengakuan untuk tulisanku datang.
Bahkan siang ini ada seseorang yang dengan cukup serius bertanya
padaku, “Apakah kamu sudah yakin ingin menikah sekarang? Tidak takut
mimpi-mimpimu harus kamu kubur?”
Ini jelas pertanyaan yang akan muncul dalam diri perempuan yang
masih punya mimpi yang ingin dia kejar. Tapi bukan berarti ini menjadi halangan
untuk menikah. Bukan berarti pertanyaan ini membuat keputusan untuk menikah
dibatalkan. Seharusnya pertanyaan semacam ini menjadi pendorong untuk berpikir
lebih jauh.
Seberapa yakinkah kita pada pasangan? Seberapa calon pendamping
ini siap mendukung mimpi-mimpi kita? Adakah ia menerima kita apa adanya? Dengan
segala kesibukan, prinsip, kekurangan dan kemampuan kita? Seharusnya ketika
memutuskan untuk menikah, ada sebuah jawaban yang meyakinkan yang datang dari
diri kita sendiri. Bukan dari mulut si calon pendamping apalagi dari orang
lain.
Jadi, sebelum memutuskan menikah, sebaiknya keyakinan ini sudah
ada terhadap calon pendamping. Jika tidak, coba bicarakan dan tinjau ulang
keputusan itu.
Langganan:
Postingan (Atom)