Minggu, 21 Juni 2015

Rindu

Tik.. Tok.. Tik.. Tok..
Rinduku berdetak seiring gerak jarum detik

Senyap..
Gelap..
Memeluk erat..membuatku sesak..
Tidak mampu bernapas..

Aku enggan menghitung hari..
Tak ingin memetakan jarak..
Sebab telah ada beribu puisi yang berkisah tentang Jawa dan Mandar..
Berkisah tentang kilometer yang membentang..
Tentang meninggalkan atau ditinggalkan..
Tentang menunggu..

Teknologi tidak benar - benar menghadirkanmu
Sms tidak membuatku mampu mendengar suaramu.
Telepon darimu tidak mampu benar - benar menghadirkanmu.
Skype tidak bisa membuatku merasakan sentuhanmu.

Tik.. Tok.. Tik.. Tok..
Aku enggan merasakan ketiadaanmu.
Biarkan aku belajar merasa cukup dengan adamu.

Ah, sudah waktunya kita bertemu via gelombong.
Meski tak membasuh rindu, paling tidak ia membuatnya tak menggebu

Bekasi, 21 Juni 2015

Ketika Jarak Datang dan Menetap

Lupakan dulu kisah saat mempersiapkan masa pernikahan.
Lupakan juga curhatan tentang pengalaman pertama menjadi seorang istri.

Hari ini biarkanku bercerita tentang jarak.
Hal yang dulu kami akrabi dan kembali menengahi.

Jarak memang tidak selalu menjadi kawan, namun tidak melulu menjadi musuh.

Sabtu, 04 April 2015

Dan Aku Kembali Berkisah Tentang Kita



Bandung, 29 Maret 2015

Maret akan segera berlalu dan April telah menjelang. Kemudian? Mei akan datang.
Bagaimana perasaanmu? Adakah yang berbeda? Apakah keseharianmu berubah?

Kau bertanya tentang hariku, kak?
Masih sama. Aku masih berkutat dengan laptop. Masih berjuang menuntaskan apa yang sudah kumulai. Berjuang mendapatkan ijazah yang deadline-nya sudah di depan mata.

Hariku masih serupa yang dulu. Masih ditemani bacaan sebelum tidur. Masih mengisi pagi dengan membaca timeline dan dilanjutkan membaca bahan tulisan. Setiap waktu luangku pun masih diisi oleh lembaran berisi kata-kata yang ditulis seseorang.

Tapi ada sedikit yang berbeda.

Sabtu, 07 Maret 2015

Keputusan Datang dan Disusul oleh Keraguan

Membuat keputusan untuk menikah bukan hal yang mudah. Terlebih menjalaninya.

Keraguan yang datang satu persatu pun tidak membantu sama sekali.

Bayangkan, sebelum memutuskan menikah, aku seolah tidak memiliki kesempatan untuk menikah. Mimpiku untuk menjadi penulis rasanya masih sangat jauh. Namun ternyata, setelah aku memutuskan untuk menerima lamaran dari laki-laki yang baru kukenali, tawaran menjadi dosen datang. Satu persatu pengakuan untuk tulisanku datang. 

Bahkan siang ini ada seseorang yang dengan cukup serius bertanya padaku, “Apakah kamu sudah yakin ingin menikah sekarang? Tidak takut mimpi-mimpimu harus kamu kubur?”

Ini jelas pertanyaan yang akan muncul dalam diri perempuan yang masih punya mimpi yang ingin dia kejar. Tapi bukan berarti ini menjadi halangan untuk menikah. Bukan berarti pertanyaan ini membuat keputusan untuk menikah dibatalkan. Seharusnya pertanyaan semacam ini menjadi pendorong untuk berpikir lebih jauh.

Seberapa yakinkah kita pada pasangan? Seberapa calon pendamping ini siap mendukung mimpi-mimpi kita? Adakah ia menerima kita apa adanya? Dengan segala kesibukan, prinsip, kekurangan dan kemampuan kita? Seharusnya ketika memutuskan untuk menikah, ada sebuah jawaban yang meyakinkan yang datang dari diri kita sendiri. Bukan dari mulut si calon pendamping apalagi dari orang lain.

Jadi, sebelum memutuskan menikah, sebaiknya keyakinan ini sudah ada terhadap calon pendamping. Jika tidak, coba bicarakan dan tinjau ulang keputusan itu.