Sabtu, 07 Maret 2015

Keputusan Datang dan Disusul oleh Keraguan

Membuat keputusan untuk menikah bukan hal yang mudah. Terlebih menjalaninya.

Keraguan yang datang satu persatu pun tidak membantu sama sekali.

Bayangkan, sebelum memutuskan menikah, aku seolah tidak memiliki kesempatan untuk menikah. Mimpiku untuk menjadi penulis rasanya masih sangat jauh. Namun ternyata, setelah aku memutuskan untuk menerima lamaran dari laki-laki yang baru kukenali, tawaran menjadi dosen datang. Satu persatu pengakuan untuk tulisanku datang. 

Bahkan siang ini ada seseorang yang dengan cukup serius bertanya padaku, “Apakah kamu sudah yakin ingin menikah sekarang? Tidak takut mimpi-mimpimu harus kamu kubur?”

Ini jelas pertanyaan yang akan muncul dalam diri perempuan yang masih punya mimpi yang ingin dia kejar. Tapi bukan berarti ini menjadi halangan untuk menikah. Bukan berarti pertanyaan ini membuat keputusan untuk menikah dibatalkan. Seharusnya pertanyaan semacam ini menjadi pendorong untuk berpikir lebih jauh.

Seberapa yakinkah kita pada pasangan? Seberapa calon pendamping ini siap mendukung mimpi-mimpi kita? Adakah ia menerima kita apa adanya? Dengan segala kesibukan, prinsip, kekurangan dan kemampuan kita? Seharusnya ketika memutuskan untuk menikah, ada sebuah jawaban yang meyakinkan yang datang dari diri kita sendiri. Bukan dari mulut si calon pendamping apalagi dari orang lain.

Jadi, sebelum memutuskan menikah, sebaiknya keyakinan ini sudah ada terhadap calon pendamping. Jika tidak, coba bicarakan dan tinjau ulang keputusan itu.